Diceritakan kembali.... selamat membaca...!
Pada
suatu petang seorang tua bersama anaknya yang baru menamatkan
pendidikan tinggi duduk berbincang-bincang di halaman sambil
memperhatikan suasana di sekitar mereka. Tiba-tiba seekor burung gagak
hinggap di ranting pokok berhampiran.
Si ayah lalu menuding jari
ke arah gagak sambil bertanya, “Nak, apakah benda itu?” “Burung gagak”,
jawab si anak. Si ayah mengangguk-angguk, namun sejurus kemudian sekali
lagi mengulangi pertanyaan yang sama. Si anak menyangka ayahnya kurang
mendengar jawabannya tadi lalu menjawab dengan sedikit kuat, “Itu burung
gagak, Ayah!”
Tetapi sejurus kemudian si ayah bertanya lagi
pertanyaan yang sama. Si anak merasa agak keliru dan sedikit bingung
dengan pertanyaan yang sama diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih
kuat, “Burung Gagak...!”
Si ayah terdiam seketika. Namun tidak lama
kemudian sekali lagi sang ayah mengajukan pertanyaan yang serupa hingga
membuat si anak hilang kesabaran dan menjawab dengan nada yang kesal
kepada si ayah, “Itu gagak, Ayah.
Tetapi agak mengejutkan si anak,
karena si ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk bertanya hal yang
sama. Dan kali ini si anak benar-benar hilang sabar dan menjadi marah.
“Ayah...! Saya tak tahu Ayah paham atau tidak. Tapi sudah 5 kali Ayah
bertanya soal hal tersebut dan saya sudah juga memberikan jawabannya.
Apa lagi yang Ayah mau saya katakan...? Itu burung gagak, burung gagak,
Ayah…..”, kata si anak dengan nada yang begitu marah.
Beberapa saat kemudian keluarlah, sesuatu di tangan ayahnya. Dia mengulurkan benda itu kepada anaknya yang
masih geram dan bertanya-tanya. Diperlihatkannya sebuah diary lama.“Coba kau baca apa yang pernah Ayah tulis di dalam diary ini,” pinta si Ayah. Si anak setuju dan membaca paragraf yang berikut.
“Hari
ini aku di halaman melayani anakku yang genap berumur lima tahun.
Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon berhampiran. Anakku terus
menunjuk ke arah gagak dan bertanya, “Ayah, apa itu?” Dan aku menjawab,
“Burung gagak.”
Walau bagaimana pun, anakku terus bertanya soal
yang serupa dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang sama.
Sehingga 25 kali anakku bertanya...! demikian, dan demi rasa cinta dan
sayangku aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Aku
berharap hal ini menjadi suatu pendidikan yang berharga untuk anakku
kelak.”
Setelah selesai membaca paragraf tersebut si anak mengangkat muka memandang wajah si Ayah yang kelihatan sayu. Si
Ayah dengan perlahan bersuara, ” Hari ini Ayah baru bertanya kepadamu
soal yang sama sebanyak 5 kali, dan kau telah hilang kesabaran serta
marah.”
Hikmah yang dapat dipetik dari cerita diatas:
Jagalah
hati dan perasaan kedua orang tuamu, hormatilah mereka. Sayangilah
mereka sebagaimana mereka menyayangimu di waktu kecil.
No comments:
Post a Comment