Diceritakan kembali.... selamat membaca...!
Cerita rakyat melayu yang berjudul Burung Tempua merupakan salah
satu cerita rakyat dengan jenis cerita yang mengisahkan tentang
kehidupan hewan (fabel). Tokoh burung Tempua bersama dengan burung Puyuh menjadi salah satu cerita rakyat Melayu asal Riau
yang cukup dikenal. Cerita ini telah ditulis dalam sebuah buku berjudul
Burung Tempua dan Burung Puyuh oleh Irwan Effendi yang diterbitkan oleh
Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita
Karya Nusa cetakan pertama September 2006. Burung Tempua di dalam
khasanah Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan nama burung manyar. Untuk
lebih jelasnya, berikut ini diceritakan secara ringkas mengenai kisah
Burung Tempua dan Burung Puyuh:
Pada masa dulu, di tanah Melayu hiduplah dua ekor burung yang saling
bersahabat. Burung tersebut adalah Burung Tempua dan Burung Puyuh.
Burung Tempua dan Burung Puyuh merupakan dua burung yang bersahabat
sangat dekat. Dimana ada Tempua disitu ada Puyuh. Mereka selalu
bepergian bersama, baik untuk mencari makan maupun untuk sekedar terbang
bersama. Suka duka selalu mereka hadapi bersama, baik saat kehujanan
maupun saat berteduh di cuaca yang panas. Kedua burung tersebut hanya
berpisah pada saat tidur di malam hari, yakni saat mereka memilih jenis
sarangnya masing-masing. Meskipun dalam banyak hal mereka punya satu
kesamaan, namun dalam hal berteduh dan bersarang di malam hari, keduanya
memiliki selera yang berbeda, sesuai dengan kondisi diri masing-masing.
Suatu hari keduanya saling bertemu sambil membincangkan keistimewaan
dari sarang masing-masing. “Aku memiliki sarang yang cantik. Sarangku
terbuat dari helaian alang-alang dan rumput kering. Helaian itu dijalin
dengan rapi sehingga tidak akan basah saat hujan, dan tidak akan
kepanasan di kala terik. Aku menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk
membuatnya,” kata Tempua.
Sarang
Tempua bisanya tergantung tinggi di atas pohon walaupun ada yang agak
rendah. Jikalau pun rendah maka pasti di dekatnya ada sarang ular, lebah
atau penyengat. Tempua berlindung pada hewan-hewan tersebut. Kalau
Tempua bersarang pada posisi rendah, pastilah ada yang dapat menjaganya.
Orang Melayu mengatakan, “kalau tidak ada berada, takkan mungkin Tempua
bersarang rendah.” Hanya karena keberadaan sesuatu hal (penjaga) maka
Tempua mau bersarang di dahan rendah.
Berbeda dengan sahabatnya buruh Tempua, burung Puyuh lebih suka dengan
jenis sarang yang praktis. Burung Puyuh merasa tak perlu bersusah payah
membangun sarang yang nyaman seperti yang dilakukan oleh burung Tempua.
Ia lebih suka tinggal disebuah batang pohon yang tumbang. Apabila ia
merasa tempat itu sudah tidak nyaman, maka biasanya ia akan mencari
pohon yang lain. “Dengan sarang berpindah-pindah, musuh tidak tahu
keberadaanku pada malam hari,” kata Puyuh.
Akhirnya, kedua burung tersebut sepakat untuk mencoba sarang
masing-masing. Malam pertama, burung Puyuh tinggal di sarang burung
Tempua. Dengan susah payah Puyuh memanjat pohon sarang Tempua
tergantung. Sesampai di sarang Tempua, Puyuh terkagum-kagum melihat
sarang Tempua yang nyaman, kering dan bersih serta rapi. Kemudian, malam
pun berlarut, Puyuh merasa haus dan meminta minum kepada Tempua. “Maaf
kawan. Tidak mungkin aku terbang dan turun mencari air karena keadaan
gelap gulita,” kata Tempua. Puyuh pun tertidur dalam kehausan. Tak lama
ketika Puyuh dan Tempua tidur pulas, tiba-tiba angin bertiup kencang.
Pohon tempat sarang Tempua pun bergoyang-goyang seakan-akan mau tumbang.
Sarang Tempua pun terayun-ayun. Puyuh ketakutan sekali dan seakan-akan
mau muntah karena terombang-ambing. “Tenanglah kawan, kita tidak akan
jatuh,” kata Tempua menghibur. Tak lama angin pun reda. Keesokan harinya
Puyuh berkata, “kawan, aku tak mau lagi tidur di sarangmu. Aku takut
jatuh lagi pula aku tidak bisa menahan haus.” Tempua diam saja dan
memaklumi alasan Puyuh.
Malam berikutnya, giliran Tempua yang mencoba tidur di sarang Puyuh.
Tempua merasa tidak nyaman dengan bersarang di bawah batang pohon yang
tumbang. Namun ia tetap mengikuti sahabatnya. Akhirnya pada tengah
malam, seperti yang ditakutkan oleh Tempua, hujan pun turun. Tubuh
Tempua menggigil. Ia pun mengeluh pada Puyuh, “Kawan, badanku dingin
sekali.” Dengan santai Puyuh menyahut, “Tenang saja kawan, nanti kalau
hujan sudah reda, badan kamu tidak akan dingin lagi.”
Keesokan harinya, Tempua pun akhirnya mengaku tidak bisa bermalam di
sarang Puyuh. Dan dengan penuh pengertian, Puyuh memahami hal tersebut.
Kedua sahabat tersebut akhirnya sadar, bahwa setiap makhluk mempunyai
karakter dan kesukaan yang berbeda dan tidak bisa dipaksakan. Keduanya
tetap menghargai perbedaan, meskipun mungkin juga memiliki banyak
kesamaan.
Demikianlah cerita rakyat melayu dari Riau yang berjudul Burung Tempua ini. Semoga kita semua mendapat pelajaran berharga.
No comments:
Post a Comment