Diceritakan kembali.... selamat membaca...!
Cerita Dongeng: Burung Pipit Berlidah Pendek
Zaman dahulu kala, di Jepang
tinggalah sepasang kakek dan nenek. Kakek adalah seorang yang sangat
baik hati dan pekerja keras. Sebaliknya nenek adalah seorang penggerutu
dan senang mencaci maki, sikapnya juga kasar dan buruk. Itulah sebabnya
kakek lebih suka menghabiskan waktunya dengan bekerja di ladang dari
pagi hingga petang. Mereka tidak dikaruniai anak, tapi kakek memiliki
seekor burung pipit yang selalu menghiburnya.
Dia
sangat cantik dan diberi nama Suzume. Kakek sangat menyayanginya.
Setiap petang sepulangnya dari ladang, kakek akan membuka kandang
Suzume, membiarkannya terbang di dalam rumah, lalu mengajaknya bermain,
berbicara, dan mengajarinya trik-trik yang dengan cepat dipelajarinya.
Suatu
hari, saat kakek pergi bekerja, nenek mulai membereskan rumah. Kemarin
nenek sudah menyiapkan bubur tepung beras untuk melicinkan pakaian yang
sudah dicuci. Bubur itu disimpannya di atas meja. Tapi kini mangkuk
buburnya telah kosong. Rupanya kakek lupa menutup kandang Suzume,
sehingga dia terbang di sepanjang rumah dan memakan bubur tepung beras
nenek. Saat si nenek kebingungan mencari siapa yang menghabiskan
buburnya, Suzume terbang menghampiri nenek.
Dia membungkuk memberi hormat lalu kicaunya: “Sayalah
yang memakan bubur tepung beras nenek. Saya pikir itu adalah makanan
untukku. Saya mohon maafkanlah saya. Twit! Twit! Twit!”
Nenek sangat
marah mendengar pengakuan si burung pipit. Memang nenek tidak pernah
menyukai Suzume. Baginya keberadaan Suzume hanya mengotori rumah saja.
Ini adalah kesempatan si nenek untuk melampiaskan kemarahannya. Maka
keluarlah cacian dari mulut nenek. Tidak cukup sampai disitu nenek yang
kalap merenggut Suzume yang malang dan memotong lidahnya hingga putus.
“Ini
adalah pelajaran buatmu!” kata nenek, “karena dengan lidah ini kamu
memakan bubur tepung berasku! Sekarang pergilah dari sini! Aku tak mau
melihatmu lagi!” Suzume hanya bisa menangis menahan sakit, dan terbang jauh ke arah hutan.
Sore
harinya kakek pulang dari ladang. Seperti biasa kakek menghampiri
kandang Suzume untuk mengajaknya bermain. Tapi ternyata kandang itu
sudah kosong. Dicarinya Suzume di sekeliling rumah dan dipangilnya,
namun Suzume tidak juga muncul. Kakek merasa yakin bahwa neneklah yang
telah membuat Suzume pergi. Maka kakek pun menghampiri nenek dan
bertanya:
“Kemana Suzume? Kau pasti tahu dimana dia.” “Burung
pipitmu?” kata nenek, “Aku tidak tahu dimana dia. Aku tidak melihatnya
sepanjang hari ini. Oh, mungkin dia jenis burung yang tidak tahu
berterima kasih. Makanya dia kabur dan tak ingin kembali meskipun kau
sangat menyayanginya.”
Kakek tentu saja tidak percaya dengan
perkataan nenek. Dia memaksanya untuk berbicara jujur. Akhirnya nenek
mengaku telah mengusir Suzume dan memotong lidahnya.
Itu hukuman karena dia telah berbuat nakal” kata nenek. “Kenapa
kau begitu kejam?” kata kakek. Dia sebenarnya sangat marah, tapi dia
terlalu baik untuk menghukum istrinya yang kejam. Namun dia tidak bisa
berhenti mengkhawatirkan Suzume yang pasti sangat menderita. “Betapa malangnya Suzume. Dia pasti kesakitan. Dan tanpa lidahnya dia mungkin tidak bisa berkicau lagi,” pikir kakek. Dia bertekad untuk mencari Suzume sampai ketemu besok pagi.
Esoknya,
pagi-pagi sekali kakek sudah berkemas dan bersiap pergi untuk mencari
Suzume. Dia pergi ke bukit lalu ke dalam hutan. Di setiap rumpunan bambu
yang ditemuinya, dia akan berhenti dan mulai memanggilnya: “Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”
Kakek
terus mencari Suzume tanpa kenal lelah. Dia bahkan lupa kalau perutnya
belum diisi sejak pagi. Sore harinya, sampailah kakek di rumpunan bambu
yang rimbun. Dia pun mulai memanggil lagi: “Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”
Dari
rimbunan bambu tersebut, keluarlah Suzume. Dia membungkukan kepalanya,
memberi hormat pada kakek. Kakek senang sekali bisa menemukan Suzume,
apalagi ternyata lidah Suzume telah tumbuh lagi sehingga dia tetap bisa
berkicau. Suzume mengajak kakek untuk mampir ke rumahnya. Ternyata
Suzume memiliki keluarga dan mereka tinggal di sebuah rumah seperti
layaknya manusia. “Suzume pasti bukan burung biasa,” pikir kakek.
Kakek
mengikuti Suzume memasuki rumpunan bambu. Rumah suzume ternyata sangat
indah. Dindingnya terbuat dari bambu berwarna putih cerah. Karpetnya
sangat lembut, bantal yang didudukinya sangat empuk dan dilapisi sutra
yang sangat halus. Ruangannya sangat luas dan dihiasi ornamen-ornamen
yang cantik. Kakek disuguhi berbagai makanan dan minuman yang sangat
lezat, juga tarian burung pipit yang sangat menakjubkan. Kakek juga
diperkenalkan kepada seluruh anggota keluarga Suzume. Mereka semua
sangat berterima kasih pada kakek yang telah merawat Suzume dengan baik.
Sebaliknya kakek pun memohon maaf atas perlakuan istrinya yang kejam
terhadap Suzume.
Waktu berlalu tanpa terasa. Malam pun semakin
larut. Akhirnya kakek meminta diri dan berterima kasih atas sambutan
keluarga Suzume yang hangat. Suzume memohon supaya kakek menginap satu
atau dua malam, namun kakek bersikeras untuk pulang karena pasti nenek
kebingungan mencarinya. Kakek berjanji akan sering-sering menunjungi
suzume lain waktu. Sebelum pulang Suzume memaksa kakek untuk memilih
kotak hadiah untuk dibawanya pulang. Ada dua buah kotak yang ditawarkan.
Satu kecil dan satu lagi besar. Kakek memilih kotak kecil.
“Aku sudah tua dan lemah,” katanya. “Aku tidak akan kuat jika harus membawa kotak yang besar.” Suzume
dan keluarganya mengantarkan kakek sampai keluar dari rumpunan bambu
dan sekali lagi membungkukan kepalanya memberi hormat.
Setibanya di rumah, nenek langsung mencecarnya: “Kemana saja seharian? Kenapa begitu malam baru pulang?” tanyanya. Kakek
mencoba menenangkannya dan memperlihatkan kotak yang didapatnya dari
Suzume. Kakek juga menceritakan pertemuannya dengan Suzume.
“Baiklah!”
kata nenek. “Sekarang cepat buka kotak itu! Kita lihat apa isinya.”
Maka mereka lalu membuka kotak itu bersama-sama. Betapa terkejutnya
mereka, ternyata kotak itu penuh berisi uang emas, perak dan
perhiasan-perhiasan yang sangat indah. Kakek mengucap syukur
berkali-kali atas anugrah itu. Tapi nenek yang serakah malah memarahi
kakek karena tidak memilih kotak yang besar. “Kalau kotak yang kecil saja isinya bisa sebayak ini apalagi kotak yang besar,” teriaknya.
Esok
paginya setelah memaksa kakek untuk menunjukkan jalan ke tempat Suzume,
nenek pergi dengan penuh semangat. Kakek mencoba melarangnya, namun
sia-sia saja. Setelah melewati bukit dan masuk ke dalam hutan, sampailah
si nenek di tepi rimbunan bambu, maka dia pun mulai memanggil: “Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”
Suzume
pun keluar dari rimbunan bambu dan membungkukan kepalanya ke arah
nenek. Tanpa membuang waktu dan tanpa malu nenek berkata: “Saya tidak
akan membuang waktumu. Aku datang kesini hanya untuk meminta kotak yang
kemarin ditolak oleh kakek. Setelah itu aku akan pergi.” Suzume memberikan kotak yang diminta, dan tanpa mengucapkan terima kasih, nenek segera meninggalkan tempat itu.
Kotak
itu sangat berat. Dengan terseok-seok nenek memanggulnya. Semakin lama
kotak itu semakin berat, seolah-olah berisi ribuan batu. “Kotak ini
pasti berisi harta karun yang sangat banyak,” pikir nenek. Dia sudah
tidak sabar ingin mengetahui isi kotak tersebut. Maka dia menurunkan
kotak itu dari punggungnya dan lalu membukanya. Wush!!! Dari dalam kotak
itu keluar ribuan makhluk yang menyeramkan dan mengejar nenek yang
langsung lari terbirit-birit. Beruntung nenek bisa sampai di rumahnya
meski jantungnya serasa mau putus. Kepada kakek dia menceritakan apa
yang dialaminya. “Itulah hukuman bagi orang yang serakah,” kata kakek. “Semoga ini menjadi pelajaran buatmu.”
Sejak
saat itu nenek tidak pernah lagi mengeluarkan kata-kata kasar dan
selalu berlaku baik pada orang lain. Dan mereka berdua hidup bahagia
selamanya.
No comments:
Post a Comment