Social Icons

Wednesday, August 20, 2014

Burung Pipit berlidah pendek

Diceritakan kembali.... selamat membaca...!

Cerita Dongeng: Burung Pipit Berlidah Pendek

Zaman dahulu kala, di Jepang tinggalah sepasang kakek dan nenek. Kakek adalah seorang yang sangat baik hati dan pekerja keras. Sebaliknya nenek adalah seorang penggerutu dan senang mencaci maki, sikapnya juga kasar dan buruk. Itulah sebabnya kakek lebih suka menghabiskan waktunya dengan bekerja di ladang dari pagi hingga petang. Mereka tidak dikaruniai anak, tapi kakek memiliki seekor burung pipit yang selalu menghiburnya.

Dia sangat cantik dan diberi nama Suzume. Kakek sangat menyayanginya. Setiap petang sepulangnya dari ladang, kakek akan membuka kandang Suzume, membiarkannya terbang di dalam rumah, lalu mengajaknya bermain, berbicara, dan mengajarinya trik-trik yang dengan cepat dipelajarinya.
Suatu hari, saat kakek pergi bekerja, nenek mulai membereskan rumah. Kemarin nenek sudah menyiapkan bubur tepung beras untuk melicinkan pakaian yang sudah dicuci. Bubur itu disimpannya di atas meja. Tapi kini mangkuk buburnya telah kosong. Rupanya kakek lupa menutup kandang Suzume, sehingga dia terbang di sepanjang rumah dan memakan bubur tepung beras nenek. Saat si nenek kebingungan mencari siapa yang menghabiskan buburnya, Suzume terbang menghampiri nenek.

Dia membungkuk memberi hormat lalu kicaunya: “Sayalah yang memakan bubur tepung beras nenek. Saya pikir itu adalah makanan untukku. Saya mohon maafkanlah saya. Twit! Twit! Twit!”

Nenek sangat marah mendengar pengakuan si burung pipit. Memang nenek tidak pernah menyukai Suzume. Baginya keberadaan Suzume hanya mengotori rumah saja. Ini adalah kesempatan si nenek untuk melampiaskan kemarahannya. Maka keluarlah cacian dari mulut nenek. Tidak cukup sampai disitu nenek yang kalap merenggut Suzume yang malang dan memotong lidahnya hingga putus.

“Ini adalah pelajaran buatmu!” kata nenek, “karena dengan lidah ini kamu memakan bubur tepung berasku! Sekarang pergilah dari sini! Aku tak mau melihatmu lagi!” Suzume hanya bisa menangis menahan sakit, dan terbang jauh ke arah hutan.

Sore harinya kakek pulang dari ladang. Seperti biasa kakek menghampiri kandang Suzume untuk mengajaknya bermain. Tapi ternyata kandang itu sudah kosong. Dicarinya Suzume di sekeliling rumah dan dipangilnya, namun Suzume tidak juga muncul. Kakek merasa yakin bahwa neneklah yang telah membuat Suzume pergi. Maka kakek pun menghampiri nenek dan bertanya:

“Kemana Suzume? Kau pasti tahu dimana dia.” “Burung pipitmu?” kata nenek, “Aku tidak tahu dimana dia. Aku tidak melihatnya sepanjang hari ini. Oh, mungkin dia jenis burung yang tidak tahu berterima kasih. Makanya dia kabur dan tak ingin kembali meskipun kau sangat menyayanginya.”

Kakek tentu saja tidak percaya dengan perkataan nenek. Dia memaksanya untuk berbicara jujur. Akhirnya nenek mengaku telah mengusir Suzume dan memotong lidahnya.

Itu hukuman karena dia telah berbuat nakal” kata nenek. “Kenapa kau begitu kejam?” kata kakek. Dia sebenarnya sangat marah, tapi dia terlalu baik untuk menghukum istrinya yang kejam. Namun dia tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Suzume yang pasti sangat menderita. “Betapa malangnya Suzume. Dia pasti kesakitan. Dan tanpa lidahnya dia mungkin tidak bisa berkicau lagi,” pikir kakek. Dia bertekad untuk mencari Suzume sampai ketemu besok pagi.

Esoknya, pagi-pagi sekali kakek sudah berkemas dan bersiap pergi untuk mencari Suzume. Dia pergi ke bukit lalu ke dalam hutan. Di setiap rumpunan bambu yang ditemuinya, dia akan berhenti dan mulai memanggilnya: “Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”

Kakek terus mencari Suzume tanpa kenal lelah. Dia bahkan lupa kalau perutnya belum diisi sejak pagi. Sore harinya, sampailah kakek di rumpunan bambu yang rimbun. Dia pun mulai memanggil lagi: “Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”

Dari rimbunan bambu tersebut, keluarlah Suzume. Dia membungkukan kepalanya, memberi hormat pada kakek. Kakek senang sekali bisa menemukan Suzume, apalagi ternyata lidah Suzume telah tumbuh lagi sehingga dia tetap bisa berkicau. Suzume mengajak kakek untuk mampir ke rumahnya. Ternyata Suzume memiliki keluarga dan mereka tinggal di sebuah rumah seperti layaknya manusia. “Suzume pasti bukan burung biasa,” pikir kakek.

Kakek mengikuti Suzume memasuki rumpunan bambu. Rumah suzume ternyata sangat indah. Dindingnya terbuat dari bambu berwarna putih cerah. Karpetnya sangat lembut, bantal yang didudukinya sangat empuk dan dilapisi sutra yang sangat halus. Ruangannya sangat luas dan dihiasi ornamen-ornamen yang cantik. Kakek disuguhi berbagai makanan dan minuman yang sangat lezat, juga tarian burung pipit yang sangat menakjubkan. Kakek juga diperkenalkan kepada seluruh anggota keluarga Suzume. Mereka semua sangat berterima kasih pada kakek yang telah merawat Suzume dengan baik. Sebaliknya kakek pun memohon maaf atas perlakuan istrinya yang kejam terhadap Suzume.

Waktu berlalu tanpa terasa. Malam pun semakin larut. Akhirnya kakek meminta diri dan berterima kasih atas sambutan keluarga Suzume yang hangat. Suzume memohon supaya kakek menginap satu atau dua malam, namun kakek bersikeras untuk pulang karena pasti nenek kebingungan mencarinya. Kakek berjanji akan sering-sering menunjungi suzume lain waktu. Sebelum pulang Suzume memaksa kakek untuk memilih kotak hadiah untuk dibawanya pulang. Ada dua buah kotak yang ditawarkan. Satu kecil dan satu lagi besar. Kakek memilih kotak kecil.

“Aku sudah tua dan lemah,” katanya. “Aku tidak akan kuat jika harus membawa kotak yang besar.” Suzume dan keluarganya mengantarkan kakek sampai keluar dari rumpunan bambu dan sekali lagi membungkukan kepalanya memberi hormat.

Setibanya di rumah, nenek langsung mencecarnya: “Kemana saja seharian? Kenapa begitu malam baru pulang?” tanyanya. Kakek mencoba menenangkannya dan memperlihatkan kotak yang didapatnya dari Suzume. Kakek juga menceritakan pertemuannya dengan Suzume.

“Baiklah!” kata nenek. “Sekarang cepat buka kotak itu! Kita lihat apa isinya.” Maka mereka lalu membuka kotak itu bersama-sama. Betapa terkejutnya mereka, ternyata kotak itu penuh berisi uang emas, perak dan perhiasan-perhiasan yang sangat indah. Kakek mengucap syukur berkali-kali atas anugrah itu. Tapi nenek yang serakah malah memarahi kakek karena tidak memilih kotak yang besar. “Kalau kotak yang kecil saja isinya bisa sebayak ini apalagi kotak yang besar,” teriaknya.

Esok paginya setelah memaksa kakek untuk menunjukkan jalan ke tempat Suzume, nenek pergi dengan penuh semangat. Kakek mencoba melarangnya, namun sia-sia saja. Setelah melewati bukit dan masuk ke dalam hutan, sampailah si nenek di tepi rimbunan bambu, maka dia pun mulai memanggil: “Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”

Suzume pun keluar dari rimbunan bambu dan membungkukan kepalanya ke arah nenek. Tanpa membuang waktu dan tanpa malu nenek berkata: “Saya tidak akan membuang waktumu. Aku datang kesini hanya untuk meminta kotak yang kemarin ditolak oleh kakek. Setelah itu aku akan pergi.” Suzume memberikan kotak yang diminta, dan tanpa mengucapkan terima kasih, nenek segera meninggalkan tempat itu.

Kotak itu sangat berat. Dengan terseok-seok nenek memanggulnya. Semakin lama kotak itu semakin berat, seolah-olah berisi ribuan batu. “Kotak ini pasti berisi harta karun yang sangat banyak,” pikir nenek. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui isi kotak tersebut. Maka dia menurunkan kotak itu dari punggungnya dan lalu membukanya. Wush!!! Dari dalam kotak itu keluar ribuan makhluk yang menyeramkan dan mengejar nenek yang langsung lari terbirit-birit. Beruntung nenek bisa sampai di rumahnya meski jantungnya serasa mau putus. Kepada kakek dia menceritakan apa yang dialaminya. “Itulah hukuman bagi orang yang serakah,” kata kakek. “Semoga ini menjadi pelajaran buatmu.”

Sejak saat itu nenek tidak pernah lagi mengeluarkan kata-kata kasar dan selalu berlaku baik pada orang lain. Dan mereka berdua hidup bahagia selamanya.

Cerita Dongeng: Burung Pipit Berlidah Pendek

No comments:

Post a Comment

 
Blogger Templates