Ada sebuah pribahasa lama... Enggang lalu ranting patah bermakna : sebab yang secara kebetulan meninggalkan akibatnya. Dapat juga bermakna seseorang yang tidak berbuat suatu kesalahan, tetapi pada waktu terjadi suatu kejahatan ia yang dituduh berbuat kesalahan itu
Arti dari peribahasa Enggang lalu ranting patah adalah Suatu sebab yang secara kebetulan meninggalkan akibatnya. Peribahasa Enggang lalu ranting
patah dapat anda gunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk
lisan maupun tulisan sebagai suatu perumpamaan yang mempunyai arti Suatu
sebab yang secara kebetulan meninggalkan akibatnya.
Pribahasa lama atau pepatah Enggang lalu Ranting patah, serung diucapkan ayah kami Ibrahim bin Haji Hasan bin Aliakim bin Sinar bin Riamad bin Natakerti. Menurut arti bahasa mengisahkan tentang seekor
burung namanya burung “Enggang” setelah hinggap cukup lama di dahan sebatang
pohon di dalam hutan cukup lebat, kemudian terbang meninggalkan pohon itu.
Begitu itu burung terbang ada ranting di dahan pohon tersebut yang patah, jatuh
meluncur ke bawah, sementara rupanya ada anak raja yang beristirahat di bawah
pohon karena kecapean berburu, diiringi oleh para pengawal. Ranting jatuh itu
menimpa si anak raja, ketimpa ranting si anak raja tiba-tiba mati, sebelumnya
masih segar bugar.
Atas kenyataan itu, maka si burung Enggang-lah, dianggap sebagai penyebab matinya anak raja. Kalaulah Enggang tidak terbang, ranting tidak akan patah. Kalau ranting tidak patah, tentu tidak akan jatuh menimpa sang anak raja. Kalau tidak tertimpa ranting, si anak raja tidak akan mati. Demikian analisis sebab-akibat tentu jangan bicara taqdir. Tentu jangan kaitkan dengan pepatah “sebelum ajal berpantang mati”.
Pepatah ini digunakan untuk mewakili suatu keadaan di mana terjadinya sesuatu seolah-olah disebabkan oleh ulah kejadian yang sebelumnya terjadi. Dikatakan seolah-olah, karena kalau diurut runtut sebabnya bukanlah ulah seseorang atau kejadian itu penyebabnya, tetapi sebenarnya ada sebab lain yang lebih tepat sebagai penyebabnya. Misalnya sang anak raja tadinya sudah mengidap sakit jantung, hanya karena kaget ketimpa ranting, terjadilah gagal jantung menyebabkan kematiannya.
Pada tahun 1972 didekat sungai Sekampung, talang Lubai Rambang, desa Air Naningan, kecamatan Pulau Panggung, kabupaten Tanggamus, provinsi Lampung... penulis sering melihat Burung Enggang terbang.
Panjang burung ini sekitar 60 cm, bila ditambah dengan panjang bulu bisa mencapai 160 cm. Burung ini bisa ditemukan di Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan beberapa Sumatera.
Ciri khas burung enggang gading bila terbang mengeluarkan bunyi hempasan sayap. Burung enggang gading juga suka bertengger di pohon yang tinggi dan sering menimbulkan suara yang ramai di tengah hutan.
Sebelum terbang, burung memberikan tanda khusus dengan mengeluarkan suara “gaaak…gaaak…” yang keras. Nyanyian alam ini mampu memanggil kawan-kawannya yang masih bersembunyi di rimbun pepohonan.
Saat terbang, kepakan kedua sayapnya mengeluarkan suara yang dramatik. Meski hidup berpasangan, mereka kerap terbang bersama dalam jumlah cukup besar, sekitar 20-30 ekor. Bisa dibayangkan, betapa riuh suasana saat sekelompok enggang terbang bersama.
Atas kenyataan itu, maka si burung Enggang-lah, dianggap sebagai penyebab matinya anak raja. Kalaulah Enggang tidak terbang, ranting tidak akan patah. Kalau ranting tidak patah, tentu tidak akan jatuh menimpa sang anak raja. Kalau tidak tertimpa ranting, si anak raja tidak akan mati. Demikian analisis sebab-akibat tentu jangan bicara taqdir. Tentu jangan kaitkan dengan pepatah “sebelum ajal berpantang mati”.
Pepatah ini digunakan untuk mewakili suatu keadaan di mana terjadinya sesuatu seolah-olah disebabkan oleh ulah kejadian yang sebelumnya terjadi. Dikatakan seolah-olah, karena kalau diurut runtut sebabnya bukanlah ulah seseorang atau kejadian itu penyebabnya, tetapi sebenarnya ada sebab lain yang lebih tepat sebagai penyebabnya. Misalnya sang anak raja tadinya sudah mengidap sakit jantung, hanya karena kaget ketimpa ranting, terjadilah gagal jantung menyebabkan kematiannya.
Pada tahun 1972 didekat sungai Sekampung, talang Lubai Rambang, desa Air Naningan, kecamatan Pulau Panggung, kabupaten Tanggamus, provinsi Lampung... penulis sering melihat Burung Enggang terbang.
Panjang burung ini sekitar 60 cm, bila ditambah dengan panjang bulu bisa mencapai 160 cm. Burung ini bisa ditemukan di Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan beberapa Sumatera.
Ciri khas burung enggang gading bila terbang mengeluarkan bunyi hempasan sayap. Burung enggang gading juga suka bertengger di pohon yang tinggi dan sering menimbulkan suara yang ramai di tengah hutan.
Sebelum terbang, burung memberikan tanda khusus dengan mengeluarkan suara “gaaak…gaaak…” yang keras. Nyanyian alam ini mampu memanggil kawan-kawannya yang masih bersembunyi di rimbun pepohonan.
Saat terbang, kepakan kedua sayapnya mengeluarkan suara yang dramatik. Meski hidup berpasangan, mereka kerap terbang bersama dalam jumlah cukup besar, sekitar 20-30 ekor. Bisa dibayangkan, betapa riuh suasana saat sekelompok enggang terbang bersama.
No comments:
Post a Comment