Diceritakan kembali.... selamat membaca...!
Pada zaman dahulu kala ada seekor burung pipit yang bernama si Tinggi Hati. Si
Tinggi Hati tidak menyadari bahwa ia dilahirkan oleh induknya berupa
sebutir telur. Demikian pula kakak-kakak dan adiknya yang semua
berjumlah lima. Si Tinggi Hati tidak menyadari betapa kedua orang tuanya
itu menderita sejak mengandung, menelurkan, mengerami hingga
mencarikannya makan. Tahunya hanyalah ia hidup dan ingin memenuhi
nafsunya sendiri.
Induknya
merasa prihatin dan sedih mengetahui tingkah laku anaknya yang satu
ini. Tidak seperti anak anaknya yang lain, setiap pagi memuji kebesaran
Allah, rajin mencari makan, selalu menurut nasihat orang tuanya, suka
beramal dan tidak congkak. Si Tinggi Hati memang anak keterlaluan. Pada setiap
pagi sebelum matahari terbit, si Tinggi Hati marah-marah mendengar
kelima saudaranya bernyanyi atau mengaji memuliakan asma Allah. Ia lebih
suka tidur mendengkur hingga bangun kesiangan.
Di saat
saudara-saudaranya terbang ikut rombongan untuk mencari makan, si Tinggi
Hati hanya tinggal diam di sarang. Ia Iebih senang bermalas-malas
sambil bersolek mengelus sayap dan bulu-bulunya yang mulai tumbuh indah.
Pada waktu
induknya datang, Ia pura-pura menangis kelaparan dan minta makan.
Induknya memberi nasihat agar si Tinggi Hati segera belajar terbang.
Namun, si Tinggi Hati tidak mau menurut nasihat orang tuanya itu.
Bahkan, semua pelajaran yang baik dan induknya tidak pernah digubris. Si
Tinggi Hati juga tidak suka beramal. Ia sangat kikir, bahkan suka
merebut makanan milik orang lain.
Setelah ia mulai terbang, ia suka menghina saudara saudaranya dan teman-teman lainnya.“Akulah burung pipit yang paling cepat terbangnya!” kicau si Tinggi Hati sambil mengepak-ngepakkan sayapnya.“Anakku…
seharusnya engkau bersyukur kepada Allah apabila engkau diberi
kepandaian terbang paling tinggi dan paling cepat. Jangan sombong,
Anakku. ” kata induknya dengan lemah lembut.“Aku pandai
terbang karena hasil latihanku yang keras, ibu. Badanku kuat dan
bulu-buluku bagus berkat usahaku yang ulet, kerja keras, dan pandai
mencari makan!” bantah si Tinggi Hati. "Tapi itu semua pemberian Allah, nak.” kata Ibunya menasehati.“Ah, Ibu!” potong si Tinggi Hati. “Kiranya Ibu hanya berolok-olok padaku agar aku ikut mengaji setiap pagi!”
Induk burung
pipit semakin sedih mendengar jawaban anaknya yang selalu membantah
nasihat orang tua itu. Semakin sedih induknya jika melihat bahwa si
Tinggi Hati suka bersolek dan suka pamer kepada para tetangganya akan
bulu-bulunya yang indah itu.
Pada suatu
hari si Tinggi Hati berkicau mencela sepasang burung pipit tetangganya
yang sedang sibuk membuat sarang di sela sisir-sisir pisang yang masih
muda.“Mengapa
engkau membuat sarang di sela sisir-sisir buah pisang yang masih muda?
Buahnya kecil-kecil sehingga ruangannya sempit dan pengap!” demikian
cela si Tinggi Hati kepada tetangganya itu. “Dengan
ramah tetangganya itu menjawab, Aku hanya menurut nasihat Ayah dan
lbuku. Katanya, siapa yang menurut nasihat orang tua akan hidup selamat,
aman, dan tenteram.”“Kau memang
tolol!” kata si Tinggi Hati. “Semua tetangga di sini memang tolol semua!
Mana mungkin rumah sempit dan pengap dapat membawa keselamatan,
keamanan, dan ketenteraman?” “Biarlah!” Jika kamu tidak suka melihat kami, lebih baik pergi sajalah!” kata tetangga itu kepadanya.“Lihat saja
nanti!” Jika aku akan membuat rumah, tentu kupilih tempat yang nyaman.
Akan kucari tandan pisang yang tua, buahnya besar-besar sehingga ruangan
di sela sisir-sisirnya cukup luas. Tentu nyaman!” Demikianlah,
pada suatu saat si Tinggi Hati mulai berpasangan, dan kemudian istrinya
hendak bertelur, dicarinya tempat sesuai selera.
Berhari-hari,
setiap waktu senggang setelah selesai mencari makan, ia terbang ke sana
kemari bersama istrinya mencari tandan pisang tua yang besar-besar.“Anakku…
menurut nasihat orang-orang tua sejak nenek moyang kita, jika hendak
membuat sarang, jangan memilih tempat pada tandan pisang yang tua.
Pilihlah tandan pisang yang masih muda, bir sempit asalkan aman.” kata
induknya mengingatkan.“Ah, Kuno!” bantah si Tinggi Hati. “Sebagai orang pandai, pendapat semacam itu harus dirombak!” “Anakku,
kata induknya lagi. “Setelah engkau berumah tangga dan setelah istrimu
bertelur kemudian menetas, didiklah anak-anakmu kelak agar menjadi
makhluk yang saleh. Pertama-tama, ajarilah ia mengaji untuk memuliakan
nama Allah. Kedua, harus rajin mencari makan. Ketiga, selalu menurut
nasihat orang tua. Keempat, suka beramal. Kemudian yang kelima,
janganlah congkak.”
Setelah sarangnya jadi, si Tinggi Hati semakin sombong terhadap para tetangganya. “Lihatlah!”
kata si Tinggi Hati kepada setiap tetangga yang berkunjung menjenguk
anak-anaknya. “Lihat! Rumahku besar, indah, dan nyaman. Istriku cantik
dan anak-anakku banyak! Semua itu berkat kepandaianku, kekuatanku,
keuletanku, dan kemampuanku. ”Seekor
burung pipit sahabatnya mengingatkan, “Hai si Tinggi Hati ! Jangan
sombong! Semua yang ada pada kita adalah pemberian Allah.” “Lagi-lagi
kamu itu menunjukkan ketololanmu.” kata si Tinggi hati. “Kamu tidak
berbeda dengan para tetangga yang tolol itu! Maka dan itu hidupmu
melarat dan selalu kekurangan.” “Oh,
sahabatku. Sebenarnya kaya dan miskin itu terletak pada bagaimana kita
berusaha. Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya hanya wajib berusaha dan
berdoa, hasilnya Allah yang akan menentukan.” “Tidak!”
bantah si Tinggi Hati. “Bagi saya, nasib itu terletak dan hasil jerih
payah kita sendiri. Siapa yang pandai pasti akan kaya, sedangkan yang
tolol akan melarat.” “Aku tidak
sependapat dengan kata-katamu itu, sahabatku.” kata teman si Tinggi
Hati. “Menurutku, meskipun pandai, jika Allah tidak memberkati, engkau
pasti bernasib buruk dan jatuh miskin.” Lalu temannya menambahkan lagi, “Sebaliknya, meskipun tolol, asalkan mendapat berkah Allah, tentu bernasib baik dan bisa kaya.” “Kau ini menyebalkan sekali!” bentak si Tinggi Hati. Daripada kita berbantah, lebih baik pergilah kau dan sini!”
Mendengar
kata-kata kasar semacam itu, teman si Tinggi Hati segera terbang
menjumpai teman-temannya. Ia kemudian menceritakan kesombongan si Tinggi
Hati yang keterlaluan itu. Baru dua minggu berselang, pemilik pohon pisang tempat si Tinggi Hati bersarang itu datang membawa parang. “Hmmm…
pisangku yang ini sudah ada yang masak.” kata hati pemilik pohon pisang
itu. “Kutebang saja pohon pisang ini, lumayan buat kenduri minggu
depan.” Si pemilik
pohon pisang itu segera menebang batang pohon pisang tanpa memperdulikan
jerit dan tangis anak si Tinggi Hati yang masih kecil-kecil itu.
Itulah sebabnya maka sampai sekarang tidak ada burung pipit yang mau membuat sarang pada tandan pisang yang sudah tua.
~~~~~~~~~~
Meskipun
kisah ini hanyalah khayalan, namun ada baiknya kita dapat memetik
nasihat dalam cerita ini. Jadi, orang harus mengutamakan ibadah, rajin
berusaha atau bekerja mencari nafkah, tidak boleh membantah nasihat
orang tua, suka beramal, dan tidak sombong.
Ingatlah
sombong adalah pakaian Allah. Manusia tidak berhak untuk sombong.
Teringat kembali kisah tentang Iblis yang diusir oleh Allah dari surga
dan harus mendapatkan vonis neraka karena berlaku sombong. Karena
sombong mendekatkan kita kepada neraka.
No comments:
Post a Comment